Sistem Informasi Penelusuran Perkara
MAHKAMAH SYAR'IYAH LHOKSUKON
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Penuntut Umum Termohon Status Perkara
1/JN.Pra/2019/PN MS.Lsk Juanda bin Ismail Daud 1.Kepala Kejaksaan Agung RI. C.q. Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Utara C.q. Kepala Seksi Pidana Umum Aceh Utara
2.Kepala Kepolisian Negara R.I. C.q. Kapolres Aceh Utara
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 07 Okt. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 1/JN.Pra/2019/PN MS.Lsk
Tanggal Surat Pelimpahan Senin, 07 Okt. 2019
Nomor Surat Pelimpahan 01
Penuntut Umum
NoNama
1Juanda bin Ismail Daud
Termohon
NoNama
1Kepala Kejaksaan Agung RI. C.q. Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Utara C.q. Kepala Seksi Pidana Umum Aceh Utara
2Kepala Kepolisian Negara R.I. C.q. Kapolres Aceh Utara
Kuasa Hukum Termohon
Dakwaan
  1. Bahwa permohonan praperadilan ini diajukan berdasarkan Pasal 82 Jo Pasal 83 Jo Pasal 84 Jo Pasal 86 Jo Pasal 87 Jo.Pasal 89 Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang hukum acara jinayat;
  2. Bahwa permohonan praperadilan ini diajukan juga menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 68 Jo Pasal 69 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat;
  3. Bahwa pemohon pada tanggal 22 Juni 2019 telah ditahan Termohon II dengan dugaan melanggar Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) Jo Pasal 82 ayat (1) dari UURI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak;
  4. Bahwa setelah pemohon mengikuti serangkaian proses penyidikan dan pra penuntutan maka sekitar tanggal 19 Agustus 2019 berkas perkara pemohon berikut pemohon dinyatakan lengkap dan saat tersebut juga dilakukan pelimpahan kepada termohon II yang dikenal dengan istilah keinstansiannya adalah P.21;
  5. Bahwa pada tanggal 19 Agustus 2019 termohon I telah membuat surat dakwaan dengan No. Reg. Perkara: PDM-194/LSK/08/2019 yang didaftarkan kepada pengadilan Negeri Lhoksukon dengan dugaan melanggar  Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) Jo Pasal 82 ayat (1) dari UURI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak;
  6. Bahwa surat dakwaan termohon I telah dibacakan pada sidang perdana di Pengadilan Negeri Lhoksukon dalam agenda pembacaan dakwaan dari termohon I yakni sekitar tanggal 12 September 2019;
  7. Bahwa atas pembacaan surat dakwaan termohon I dalam sidang tertutup untuk umum di Pengadilan Negeri Lhoksukon, penasihat hukum pemohon dalam perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Lhoksukon menyatakan keberatan atas surat dakwaan termohon I tersebut dan siap melakukan keberatan (eksepsi) sehingga memohon waktu kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon yang memeriksa, atas permohonan yang diajukan penasihat hukum dalam sidang, majelis hakim mengabulkan permohonan untuk membuat nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan termohon I yang dtetapkan pada sidang berikutnya;
  8. Bahwa pada sidang lanjutan tepatnya pada tanggal 19 September 2019 Penasihat Hukum Pemohon dalam perkara dimaksud menyampaikan nota keberatan (eksepsi) tentang kewenangan mutlak (absolute) Pengadilan Negeri Lhoksukon yang tidak berkewenangan lagi memeriksa perkara yang diduga kepada pemohon melanggar  dugaan melanggar  Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) Jo Pasal 82 ayat (1) dari UURI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dikarenakan telah ada hukum positif yang berlaku kini dan dini khusus di daerah provinsi Aceh yang berlaku bagi seluruh masyarakat yang berkedudukan di Aceh serta penegak hukum yang bertugas di Aceh sebagaimana termuat dalam Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 sebagai hukum acara formil dan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 sebagai hukum materilnya;
  9. Bahwa termohon I menanggapi keberatan (eksepsi) pemohon melalui Penasihat Hukumnya secara tertulis, sehingga akan dibacakan pada sidang lanjutan perkara pemohon;
  10. Bahwa bertepatan tanggal 26 September 2019 sidang perkara pemohon dibuka kembali di Pengadilan Negeri Lhoksukon dan termohon I menyampaikan tanggapan atas keberatan (eksepsi) Pemohon hanya secara lisan yang pada pokoknya tetap berpegang teguh kepada surat dakwaan;
  11. Bahwa untuk selanjutnya sidang putusan sela dibuka kembali pada tanggal 03 Oktober 2019  sekitar pukul 15.30 wib oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon dengan isi putusan menyatakan:
    1. Menyatakan keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa Juanda Bin Ismail Daud tersebut diterima;
    2. Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg.Perkara:PDM-194/LSK/08/2019 tanggal 19 Agustus 2019 batal demi hukum;
    3. Menyatakan Pengadilan Negeri Lhoksukon tidak berwenang dan memerintahkan Penuntut Umum melimpahkan perkara tersebut ke Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon;
    4. Memerintahkan mengembalikan berkas perkara ini kepada penuntut umum;
    5. Memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini
    6. Membebankan biaya perkara kepada negara;
  12. Bahwa pemohon sesaat setelah mendengarkan isi putusan sela Pengadilan Negeri Lhoksukon yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut berkoordinasi kepada termohon I tentang waktu eksekusi bebas pemohon dari rutan Lhoksukon oleh termohon I, tetapi termohon I menerangkan tidak bisa serta merta hari itu juga mengingat harus berkoordinasi dengan pimpinan dan berkoordinasi pula dengan penyidikan, karena sudah sore akhirnya pemohon menunggu sampai besok;
  13. Bahwa bertepapatan pada tanggal 04 Oktober 2019 didampingi Penasihat Hukumnya pemohon dikeluarkan oleh termohon I atas perintah hakim setelah menyelesaikan kelengkapan administrasi di Rutan Lhoksukon, tetapi baru semenit menghirup udara bebas pemohon ditangkap kembali oleh Termohon II dan dibawa ke kantor Polrest Aceh Utara yang merupakan Instansi dari temohon II guna dilakukan pemeriksaan baru;
  14. Bahwa menurut termohon II dasar penangkapan pemohon tersebut adalah surat perintah penangkapan Nomor: Sp. Kap/47/X/2019/reskrim Aceh Utara tanggal 04 Okt 2019;
  15. Bahwa saat perkara permohonan ini diajukan pemohon sudah ditetapkan sebagai tersangka dan diperintahkan untuk ditahan oleh pemohon II berdasarkan surat perintah penahanan Nomor:  Sp. Han/40/X/2019/Reskrim terhitung masa penahanan tanggal 5 Oktober 2019 di tempat yang disediakan oleh termohon II;
  16. Bahwa pemohon sangat keberatan atas tindakan-tindakan dari pada termohon II dengan alasan bahwa pada surat perintah penangkapan Nomor: Sp. Kap/47/X/2019/reskrim Aceh Utara tanggal 04 Okt 2019 termohon II mendasarkan penangkapan kepada:
    1. Pasal 7 ayat (2) huruf a, Pasal 18, Pasal 20 dari Qanun No. 7 Tahun 2014 tentang Hukum Acara Jinayat;
    2. Laporan PolisiNomor: LP.B/138/X/Res 1.24/2019/ACEH/Res Aut/Spkt, tanggal 03 Oktober 2019;
  17. Bahwa dengan status tersangka dan ditahan sejak 05 Oktober 2019 pemohon merasa di diskriminasi hak-haknya karena temohon I dengan sengaja berkoordinasi kepada termohon II dan menyusun strategi penangkapan baru dengan mekanisme pemeriksaan menggunakan hukum Qanun Aceh begitu pula penerapan hukum acaranya; Bahwa dalam perbuatan melakukan penangkapan pemohon termohon II berpegang kepada Laporan PolisiNomor: LP.B/138/X/Res 1.24/2019/ACEH/Res Aut/Spkt, tanggal 03 Oktober 2019 sedangkan pada tanggal yang sama pula pemohon dinyatakan bebas demi hukum dengan perintah dikeluarkan dari tahanan segera setelah putusan sela dibacakan, serta memerintahkan penuntut umum melimpahkan perkara pemohon kepada mahkamah syar’iyah Lhoksukon sungguh mengherankan pada faktanya termohon II yang melakukan penangkapan sedangkan yang diperintah oleh hakim pengadilan negeri Lhoksukon dalam putusan sela yang berkekuatan hukum tetap termohon I yang menanggungjawabi perkara pemohon;
  18. Bahwa pemohon keberatan dengan dasar hukum penangkapan pemohon oleh termohon II menerapkan Qanun No. 7 Tahun 2014 tentang Hukum Acara Jinayat karena pemohon tidak pernah mengetahui Qanun tersebut disahkan tahun 2014 ini merupakan suatu penerapan hukum yang tidak hirarkies dan keliru;
  19. Bahwa dasar hukum penangkapan pada dugaan pelanggaran hukum jinayat tidak semata-mata berpegang kepada hukum acara jinayat yaitu Qanun No. 7 tahun 2013 tetapi tetap bersandar kepada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana termuat dalam Pasal 285 ayat (3) Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat yang berbunyi: “Ketentuan dalam kitab undang-undang hukum acara pidana atau peraturan perundang-undangan lain tentang hukum acara pidana tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam qanun ini.”  Tetapi termohon II tidak memasukkan dasar hukum KUHAP dalam melakukan penangkapan atas diri pemohon hal demikian membuktikan bahwa Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/47/X/2019/Reskrim Aceh Utara tanggal 04 Okt 2019 tidak sah menurut hukum;
  20. Bahwa pemohon juga sangat keberatan dasar penangkapan pemohon oleh termohon II menerapkan  Laporan Polisi  Nomor: LP.B/138/X/Res 1.24/2019/ACEH/Res Aut/Spkt, tanggal 03 Oktober 2019 karena pemohon pada tanggal tersebut sedang mendengarkan acara putusan sela oleh pengadilan Negeri Lhoksukon dan dinyatakan bebas demi hukum;
  21. Bahwa menurut pemohon melalui kuasa hukumnya tidak dapat membenarkan atas munculnya  Laporan Polisi Nomor: LP.B/138/X/Res 1.24/2019/ACEH/Res Aut/Spkt, tanggal 03 Oktober 2019 tersebut. Karena Lp tersebut patut diragukan keabsahannya sebagaimana sesuai amanat Pasal 15 ayat (1) huruf (a) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI menyatakan: “Wewenang Polri adalah menerima Laporan/Pengaduan dari masyarakat”. Dimana jika disinggungkan denga peristiwa persidangan pemohon pada dugaan melanggar  Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) Jo Pasal 82 ayat (1) dari UURI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Laporan Polisi masuk pada tanggal 21 Juni 2019 yang kemudian di adopsi oleh termohon I sebagai dasar dakwaannya yang kenyataannya pada tanggal 03 Okt 2019 telah dinyatakan batal demi hukum;   
  22. Bahwa berdasarkan Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana menyatakan dalam bunyinya:
    1. Laporan Polisi/Pengaduan terdiri dari
      1. Laporan Polisi Model A; dan
      2. Laporan Polisi Model B;
    2. Laporan Polisi Model A sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf (a) adalah laporan polisi yang di buat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui,  atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi;
    3. Laporan Polisi Model B sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) adalah laporan polisi yang dibuat anggota Polri atas laporan/pengaduan yang diterima oleh Masyarakat;
  23. Bahwa dalam fakta lapangan tindakan termohon II melakukan penangkapan atas diri pemohon adalah efek dari putusan sela Pengadilan Negeri Lhoksukon tanggal 03 Okt 2019 yang menyatakan pemohon bebas demi hukum. Dalam hal ini pemohon sendiri yang mengalami ketika berkoordinasi untuk pelaksanaan eksekusi bebas kepada termohon I, ianya menerangkan tidak hari itu juga karena harus berkoordinasi dengan instansi termohon II;
  24. Bahwa pemohon sangat dirugikan oleh tindakan sewenang-wenang dari para termohon, terkesan para termohon merupakan alat negara yang mempunyai fungsi dan tugas yang sama sehingga serangkaian strategi penangkapan dilakukan diduga atas instruksi dari pada pihak termohon I secara tersembunyi,  padahal jelas dalam putusan sela tanggal 03 Otk 2019 yang diperintahkan untuk melimpahkan perkara pemohon kepada Mahkamah Syar’iyah adalah Termohon I lantas atas dasar apa Termohon II melakukan penangkapan kembali;
  25. Bahwa pemohon sebagai rakyat Indonesia yang mempunyai kedudukan sama dimata hukum pendiskriminasian ini tidak dapat di tolerir mengingat pemohon juga punya keluarga, anak pemohon sejak ditahan tanggal 22 Juni 2019 oleh termohon II sekarang telah berusia 5 bulan artinya pemohon telah menjalani masa penahanan selama hampir 4 (empat) bulan karena disaat pemohon berpisah dengan istri dan buah hatinya kala itu berumur sekitar 1 (satu) bulan;
  26. Bahwa termohon II dalam hal melakukan penangkapan kembali pada tanggal 04 Oktober 2019 tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Termohon II terkesan proaktif menerima informasi dari termohon I tentang akan adanya putusan sela bebas atas diri pemohon sehingga munculnya Laporan Polisi  Nomor: LP.B/138/X/Res 1.24/2019/ACEH/Res Aut/Spkt, tanggal 03 Oktober 2019 tidak sehat secara hukum;
  27. Bahwa secara logika saja Laporan Polisi  keluar atas dasar Pengaduan (LP. Model.B) artinya LP.B itu tidak akan dibuat jika tidak ada pengaduan, selanjutnya jika benar LP.B masuk tanggal 03 Okt 2019 tentu harus mencari dua alat bukti permulaan yang cukup, dalam hal perkara pemohon diduga melanggar Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat jelas bukti permulaan diantaranya adalah wajib adanya visum Et Repertum dari Rumah Sakit Umum Pemerintah setelah masuknya LP.B pada tanggal 03 Okt 2019;
  28. Bahwa pemohon seperti sudah trauma terhadap penegak hukum karena para termohon adalah instansi yang mempunyai fungsi dan tugas yang berbeda (termohon I fungsi penuntutan dan termohon II pungsi penyidikan) tetapi seolah-seolah bertindak atas nama satu instansi dalam pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yang sama fungsinya, padahal jelas dan terang pada saat perkara pemohon yang diajukan termohon II kepada Termohon I telah dinyatakan lengkap dan telah pula dilimpahkan kepada termohon I dinyatakan P.21 maka hak dan kewajiban termohon II selesai dan yang melimpahkan perkara adalah termohon I bukan termohon II;
  29. Bahwa akibat dari perbuatan para termohon pemohon sangat dirugikan karena pemohon ketika ditangkap pada tanggal 22 Juni 2019 lalu, tidak melawan dan mengikuti serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh para termohon sehingga akibat kelalaian dari para termohon yang salah dalam penerapan hukum telah memperkosa hak asasi pemohon dan para termohon atas tindakannya seperti memiliki kekebalan hukum yang ketika pemohon mencoba berkoordinasi dengan itikad baik sebelum permohonan praperadilan ini diajukan para termohon tidak memperdulikannya;
  30. Bahwa dengan ada putusan sela Nomor: 260/Pid.Sus/2019/PN-Lsk tanggal 03 Okt 2019, mengakibatkan dakwaan termohon I batal demi maka secara hukum segala sesuatu yang menyangkut perkara Nomor: 260/Pid.Sus/2019/PN-Lsk atas nama terdakwa Juanda Bin Ismail Daud telah gugur dan tidak dapat dilakukan pemeriksaan baru dan terhadap putusan tersebut telah pula berkekuatan hukum tetap;
  31. Bahwa termohon II melakukan penyidikan dengan menggunakan Qanun Jinayat Aceh dalam hal subjek hukum sama yaitu pemohon dan korban, serta peristiwa hukum sama, tempus dan locus delectinya sama terhadap Pemohon adalah Nebis In idem  sebagaimana termuat dalam Pasal 76 menyebutkan “Dalam Artian Hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, ditempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut”: Kemudian Pasal 76 KUHAP beranak menjadi jelas bunyinya sebagai berikut:
    1. Kecuali  dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap;
    2. Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
      1. Pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;

Bahwa menurut Pasal 76 KUHAP tersebut baik ayat (1) dan ayat (2) yang perlu penegak hukum teliti jika didekatkan dengan perkara pemohon menjadi timbul pertanyaan apakah putusan hakim pengadilan negeri Lhoksukon dapat diulangi, (karena tidak ada perintah diulangi) jika diulangi bagaimana tentang pemohon yang sudah menjalani tahanan selama 4 bulanan, yang jika diulangi maka penahanan tersebut tidak dapat dikurangkan pada pemeriksaan kedua dalam peristiwa yang sama. Jadi karena mengingat akibat kelalaian para termohon menerapkan hukum yang telah memangkas hak asasi pemohon karena terlalu subjektif dalam meneiliti perkara dengan mengenyampingkan azas-azas hukum secara objektif maka putusan hakim yang telah berkekuatann hukum tetap demi hukum dan HAM tidak mungkin dapat diulangi. Adapun bunyi putusan sela No. 260/ Pid.Sus/2019/PN-Lsk pada salah satu amarnya berbunyi: “menyatakan pengadilan negeri Lhoksukon tidak berwenang dan memerintahkan penuntut umum melimpahkan perkara tersebut ke Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon.”Kalimat tersebut artinya pengadilan negeri Lhoksukon tidak berwenang dan memerintahkan Penuntut Umum melimpahkan perkara pemohon kepada Mahkamah Syar’iyah. Maka artinya penuntut umum yakni termohon I diamanahkan untuk melimpahkan perkara pemohon serta merta dalam masa penahan yang masih tersisa sehingga masa penahanan tetap dapat dikurangkan seluruhnya, tetapi secara tiba-tiba termohon II datang dengan menunjukkan surat perintah penangkapan baru tanggal 04 Okt 2019 dari pimpinannya bukan dari termohon I selaku pihak yang diperintahkan hakim untuk melimpahkan perkara pemohon ke Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon sebagaimana isi putusan sela;

32. Bahwa dalam pelaksanaan Azas Nebis In Idem ditegaskan pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 3 Tahun 2002 tentang penanganan perkara yang berkaitan dengan asas nabis in idem yang berbunyi: “sehubungan dengan banyaknya laporan mengenai pengulangan perkara dengan objek dan subjek yang sama dan telah diputus serta mempunyai kekuatan hukum tetap baik dari tingkat Judex Factie, sampai dengan tingkat kasasi baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, maka dengan ini Mahkamah Agung meminta perhatian sungguh-sungguh dari seluruh ketua pengadilan Tingkat Pertama mengenai masalah tersebut. agar Asas Nebis In Idem ini dapat terlaksana dengan baik dan demi kepastian bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang berbeda, maka:

(1). Proses di Pengadilan yang sama;

  • Penitera harus cermat memeriksa berkas perkas dan melaporkan kepada ketua Pengadilan apabila terdapat perkara yang serupa yang telah diputus dimasa lalu;
  • Ketua pengadilan wajib member catatan untuk majelis hakim mengenai keadaan tersebut;
  • Majelis Hakim wajib mempertimbangkan baik pada putusan eksepsi maupun pada pokok perkara, mengenai perkara serupa yang pernah diputus dimasa lalu;

       (2).  Proses pengadilan yang berbeda Lingkungan

  • Panitera pengadilan yang bersangkutan wajib memberitahukan kepada pengadilan dimana perkara tersebut pernah diputus;
  • Melaporkan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan adanya perkara yang berkaitan dengan Nebis In Idem;

(3).  Proses Pengiriman Ke Mahkamah Agung;

  • Pengadilan yang bersangkutan wajib melaporkan kepada Mahkamah Agung tentang adanya perkara yang berkaitan dengan Azaz Nebis In Idem;

33.  Bahwa dengan telah adanya putusan sela No. 260/ Pid.Sus/2019/PN-Lsk oleh pengadilan Negeri Lhoksukon yang telah berkekuatan hukum tetap maka telah terbukti termohon I salah menerapkan hukum sebagaimana ketentuan yang berlaku untuk itu patut jika pemohon memohon kepada yang mulia hakim pemeriksa agar menetapkan ganti kerugian sebagaimana bunyi Pasal 68 ayat (1)  Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat menerangkan: “Setiap orang yang ditangkap dan ditahan oleh aparat yang berwenang yang diduga melakukan jarimah tanpa melalui prosedur atau proses hukum atau kesalahan dalam penerapan hukum atau kekeliruan mengenai orangnya berhak mendapatkan ganti kerugian”;

34.  Bahwa karena masa tahanan yang telah dijalani pemohon dari putusan sela No. 260/ Pid.Sus/2019/PN-Lsk oleh pengadilan Negeri Lhoksukon yang telah berkekuatan hukum tetap kerugian pemohon dipandang perlu dari sisi materiil dan immaterial yang pada hitungan materiilnya berdasarkan lama penahanan terhitung sejak tanggal 22 Juni 2019 sampai pada tanggal 3 Oktober 2019 adalah sebanyak 103 hari × 0,3 Gram emas murni atau uang yang setara dengan itu maka banyak ganti kerugian dalam bentuk emas adalah 30,9 Gram emas atau setidak-tidaknya jika dinilai setara dengan uang adalah Rp.20.600.000,- (duapuluh juta enam ratus ribu rupiah). Sedangkan kerugian immaterial adalah berupa rasa malu tercemar di masyarakat  serta trauma akibat ulah termohon I yang salah menerapkan hukum, tidak mengikuti perkembangan hukum positif sehingga pemohon adalah korban dari kebodohan tersebut, untuk itu jika dinilai dari uang maka nilainya tak terhingga. Tetapi untuk mendapatkan nominal angka kerugian immaterial yang pasti pemohon perkirakan sebasar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah);

35.  Bahwa jika pada akhir putusan permohonan praperadilan a quo menetapkan tidak sahnya penangkapan, penetapan tersangka, penahanan dan serangkaian pemeriksaan terhadap pemohon oleh termohon II, maka pemohon juga merasa dirugikan secara materiil dan immaterial pula yang besaran kerugian materiilnya adalah terhitung sejak dilakukan penahanan tanggal 05 Okt 2019 sampai dengan putusan perkara a quo dibacakan yang mulia hakim pemeriksa yang diperkirakan sekitar 10 hari × 0.3 Gram emas murni atau uang yang setara dengan itu maka banyak ganti kerugian dalam bentuk emas adalah 3 Gram emas atau setidak-tidaknya jika dinilai setara dengan uang adalah Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah). Sedangkan kerugian immaterial adalah berupa rasa tidak nyaman, tekanan bathin yang mendalam, dan terampasnya hak asasi pemohon untuk bebas sesuai putusan hakim pada pengadilan negeri Lhoksukon akibat ulah termohon II yang tanpa dasar yang jelas melakukan kembali penangkapan yang menurut pihak termohon II penangkapan pemohon adalah terhadap kasus serupa, karena hakim meminta disidiknya menggunakan Qanun, berarti prosesnya di Ulang (vide: komentar Kapolres Aceh Utara AKBP Ian Rizkian Milyardin melalui Kasat Reskrim AKP Adhitya kepada Serambi/media cetak tanggal 5 Okt 2019)., Jadi seolah-olah termohon II berlindung pada putusan hakim yang memerintahkan JPU melimpahkan perkara pemohon ke Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon, tetapi termohon II lupa kalo ianya bukan JPU (instansi penuntutan), karena putusan tersebut tidak memerintahkan penyidik melakukan penangkapan dan penyidikan maka timbul dugaan yang negatif terhadap penegak hukum yang faktanya merugikan pemohon. Untuk itu jika dinilai dari uang maka nilainya tak terhingga. Tetapi untuk mendapatkan nominal angka kerugian immaterial yang pasti pemohon perkirakan sebasar Rp. 100.000.000,- (dua ratus juta rupiah);

36.  Bahwa kerugian pemohon alami baik dari perbuatan termohon I dan termohon II jika dirincikan adalah:

  Kerugian Materiil:

  1. Dalam bentuk emas adalah 30,9 gram emas + 3 gram emas = 33,9 gram emas murni;
  2. Dalam bentuk uang adalah Rp.20.600.000,- + Rp.2.000.000,- = Rp. 22.600.000,- (Duapuluh dua juta enam ratus ribu rupiah);

Kerugian Immateriil:

Beban termohon I sebasar Rp. 200.000.000,- + beban termohon II sebasar Rp. 100.000.000,- = sebesar Rp. 300.000.000,- (Tiga ratus juta rupiah);

Kerugian materiil tambah Kerugian Immateriil:

Rp. 22.600.000,- + Rp. 300.000.000,- = sebesar Rp. 322.600.000,- (Tiga ratus dua puluh dua juta enam ratus ribu rupiah);

Maka, karena ganti kerugian menurut Qanun Aceh bersifat alternatif maka pemohon menegaskan ganti kerugian yang dimohonkan pada para termohon adalah dalam bentuk uang yang keseluruhannya adalah sebesar Rp. 322.600.000,- (Tiga ratus dua puluh dua juta enam ratus ribu rupiah);

37.  Bahwa dalam permohonan praperadilan a quo tentang perbuatan termohon I dan termohon II adalah berbeda, tuntutan ganti kerugian pemohon kepada termohon I bersifat mutlak atas dasar putusan sela Nomor: 260/Pid.Sus/2019/PN-Lsk tanggal 3 Okt 2019 yang telah berkekuatan hukum tetap tentang telah dilakukan penerapan hukum yang salah sehingga membatalkan surat dakwaan dan akibatnya pemohon dirugikan sebanyak 103 hari penahanan. Kerugian mencakup materiil dan immateriil sebesar  Rp. 220.600.000,- (Duaratus dua puluh juta enam ratus ribu rupiah);

38.  Bahwa dalam permohonan praperadilan a quo tentang perbuatan termohon II pemohon tunduk dan patuh pada putusan yang mulia hakim pemeriksa dalam permohonan praperadilan a quo, dan jika benar nanti pada putusan menetapkan perbuatan termohon II dalam melakukan penangkapan, penetapan tersangka, penahanan berikut serangkaian pemeriksaan penyidikan tidak sah menurut hukum maka pemohon menuntut ganti kerugian baik secara materiil dan immaterial dibebankan kepadanya sebesar Rp. 102.000.000,- (seratus dua juta rupiah);

39.  Bahwa mengingat para termohon adalah penegak hukum, alat negara yang sah maka seluruh ganti kerugian dibebankan kepada negara atau lembaga keuangan negara yang dalam hal ini berada pada APBA dan/atau APBD sebagaimana ketentuan yang mengatur tentang itu;

40. Bahwa pemohon hanyalah rakyat kecil yang berupaya sedapat mungkin berjuang untuk mencari keadilan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, untuk itu mohon kepada yang mulia hakim pemeriksa perkara praperadillan a quo mempertimbangkan peristiwa hukum yang pemohon alami;

Pihak Dipublikasikan Ya